Warga Tumbit Melayu Kecewa, Bukti PT Berau Coal Dinilai Menyimpang

Tanjung Redeb – Gugatan sengketa lahan antara Kelompok Tani Usaha Bersama Meraang (Poktan UBM) dan perusahaan tambang PT Berau Coal memasuki sidang ke-10 di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, Rabu (14/5/2025). Dalam momen penting ini, publik berharap kejelasan, namun yang muncul justru kekecewaan—bukti yang diajukan PT Berau Coal dinilai menyimpang dan tidak berkaitan langsung dengan lahan yang disengketakan.

Di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Lila Sari, S.H., M.H., PT Berau Coal menyerahkan 28 surat yang diklaim sebagai dokumen pembebasan lahan. Namun setelah diteliti, kuasa hukum Poktan UBM menemukan bahwa dokumen tersebut justru menunjuk lokasi yang berbeda dari objek sengketa.

“Surat-surat yang diserahkan tidak mengarah pada lahan yang sedang kami perjuangkan. Justru lokasi yang dimaksud ada di seberang jalan dan itu bukan bagian dari wilayah kelompok tani kami,” ungkap Gunawan, kuasa hukum Poktan UBM kepada media seusai sidang. Ia menambahkan, pihaknya sudah memetakan secara detail wilayah yang disengketakan dan tidak menemukan keterkaitan dengan dokumen PT Berau Coal.

Pernyataan ini diperkuat oleh salah satu anggota Poktan UBM, Jamaluddin. Ia menjelaskan bahwa lahan yang kini menjadi sengketa telah dikelola masyarakat selama bertahun-tahun dan memiliki sejarah penggunaan yang panjang sebelum kehadiran aktivitas pertambangan di sekitar Tumbit Melayu.

“Kalau mereka bilang itu milik mereka, kenapa tidak ada satupun bukti pembebasan lahan atas wilayah kami? Ini sudah keterlaluan. Kami merasa dicurangi,” keluh Jamaluddin dengan nada kecewa.

Kemarahan warga tidak hanya berhenti di ruang sidang. Ratusan orang dari Pasukan Merah, PolAdat, dan Permada turut hadir dan berkumpul di halaman pengadilan sebagai bentuk solidaritas. Panglima Mandau, yang memimpin barisan dukungan tersebut, menyatakan tekad untuk mengawal kasus ini sampai ke akar.

“Kami berdiri di sini bukan hanya untuk mendampingi masyarakat, tetapi untuk menuntut keadilan. Kami ingin hukum benar-benar berpihak pada kebenaran. Jangan tajam ke bawah, tumpul ke atas,” ujarnya dengan lantang.

Sengketa ini telah berproses sejak awal tahun 2024 dan kini tercatat dalam register perkara nomor 43/pdt.Sus-LH/2024/PN Tnr. Perkara bermula dari klaim sepihak PT Berau Coal atas sebagian wilayah pertanian yang selama ini dikelola secara komunal oleh Poktan UBM. Kelompok tani tersebut menyatakan tidak pernah ada proses pembebasan lahan, baik berupa ganti rugi, sosialisasi, atau kesepakatan resmi.

Ironisnya, dalam sidang ke-8 yang digelar Kamis (10/4/2025), majelis hakim telah turun langsung ke lapangan melakukan Pemeriksaan Setempat (PS) atas sembilan titik koordinat lahan. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar area yang dikuasai PT Berau Coal memang masuk dalam batas tanah yang diklaim kelompok tani, bukan wilayah perusahaan sebagaimana dijelaskan dalam dokumen mereka.

“Ini bukan hanya sengketa tanah. Ini soal keadilan masyarakat adat dan petani yang selama ini digerus oleh proyek-proyek besar tanpa kepastian hukum,” ucap seorang tokoh adat yang hadir dalam sidang.

Puncak dari ketegangan ini juga terjadi ketika dalam pemeriksaan lapangan, seorang jurnalis lokal dihalangi oleh seorang karyawan eksternal PT Berau Coal bernama Hashar. Insiden ini menuai reaksi keras dari Lembaga Bantuan Hukum Kontributor dan Wartawan Berau (LBHK-Wartawan), yang menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin dalam UU Nomor 40 Tahun 1999.

Ketua LBHK-Wartawan, Marihot Moses, menyampaikan kecaman keras dan meminta pihak perusahaan bertanggung jawab atas tindakan pegawainya. “Jika sudah seperti ini, bukan hanya integritas hukum yang dipertaruhkan, tapi juga kebebasan informasi. Kami akan kawal dan siapkan laporan resmi,” katanya.

Kuasa hukum PT Berau Coal ketika dimintai klarifikasi menyatakan bahwa dokumen yang diajukan belum sepenuhnya lengkap dan berjanji akan menyempurnakan bukti pada sidang lanjutan yang akan digelar Rabu (21/5/2025) mendatang. Meski begitu, pihak penggugat tetap menaruh curiga terhadap kesungguhan perusahaan.

Sengketa Tumbit Melayu mencerminkan potret lebih luas dari persoalan agraria di Indonesia, terutama di kawasan yang berbatasan langsung dengan aktivitas pertambangan. Masyarakat adat dan petani kecil sering kali terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi besar yang didukung regulasi yang multitafsir.

Lahan yang disengketakan diketahui merupakan area pertanian produktif yang menjadi sumber utama ekonomi warga Kampung Tumbit Melayu. Sebelum eksploitasi tambang berkembang, kawasan ini dikenal sebagai lumbung pangan lokal yang menyuplai kebutuhan hasil bumi di Berau.

Kini, dengan masuknya perusahaan tambang, banyak lahan mengalami degradasi, perubahan tata guna lahan, dan ancaman terhadap keberlangsungan lingkungan hidup. Warga mengaku kehilangan akses terhadap air bersih, pencemaran udara meningkat, dan aktivitas bertani tidak lagi seaman dulu.

“Kalau ini tidak diselesaikan dengan adil, bukan tidak mungkin konflik sosial akan melebar. Kami tidak ingin kekerasan, tapi keadilan harus ditegakkan,” kata seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Dengan tensi yang terus meningkat, perhatian kini tertuju pada majelis hakim. Masyarakat dan aktivis berharap pengadilan mampu bertindak objektif dan berani mengambil keputusan yang berpihak kepada kebenaran substansial, bukan hanya berdasarkan dokumen yang bisa direkayasa.

Sidang mendatang menjadi momentum penting untuk membuktikan apakah sistem peradilan Indonesia mampu menjadi benteng terakhir keadilan rakyat. Jika tidak, maka luka lama soal keadilan agraria akan terus menganga dan memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap lembaga hukum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *