Pahami Aspek Hukum Kurban agar Ibadah Tidak Melanggar Aturan

Samarinda – Di tengah euforia menyambut Hari Raya Idul Adha, masyarakat Muslim di seluruh penjuru negeri bersiap menunaikan salah satu ibadah paling bermakna: menyembelih hewan kurban. Namun di balik nuansa spiritual yang kental, terdapat sisi hukum yang sering kali terabaikan. Mengabaikan aspek hukum ini bisa berujung pada masalah yang justru mencederai makna kurban itu sendiri.

Advokat dan konsultan hukum yang juga Managing Partner di Miq Law Firm, Muhammad Iqbal, SH., MH., menegaskan bahwa ibadah kurban tidak hanya soal niat dan tata cara keagamaan, tetapi juga harus sesuai dengan hukum positif Indonesia.

“Banyak masyarakat belum menyadari bahwa pemotongan hewan kurban, apalagi jika dilakukan secara massal atau melalui lembaga, memiliki aturan hukum tertentu. Jika tidak diperhatikan, bisa berisiko melanggar ketentuan tentang kesehatan hewan, perlindungan konsumen, hingga ketertiban umum,” ujar Iqbal.

Iqbal menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Pertanian Nomor 114 Tahun 2014 mengatur dengan jelas standar pelaksanaan kurban, termasuk lokasi pemotongan hewan. Idealnya, pemotongan dilakukan di Rumah Potong Hewan (RPH). Namun dalam praktiknya, banyak kurban disembelih di halaman masjid atau bahkan di tepi jalan yang padat penduduk.

Menurutnya, hal ini memang tidak melanggar secara agama, tetapi tetap harus memperhatikan aspek sanitasi dan ketertiban umum. Pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menentukan lokasi yang diperbolehkan, dan masyarakat harus berkoordinasi dengan RT, RW, atau kelurahan setempat untuk menghindari pelanggaran administratif.

Lebih lanjut, Iqbal menekankan pentingnya memperhatikan kesehatan hewan kurban. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, setiap hewan kurban wajib sehat dan bebas dari penyakit menular. Hal ini wajib dibuktikan dengan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang diterbitkan oleh otoritas terkait.

“Ini penting terutama saat terjadi wabah penyakit hewan seperti PMK. Jangan sampai niat ibadah malah membahayakan masyarakat luas,” tambahnya.

Tantangan lain yang kini muncul seiring perkembangan zaman adalah kurban melalui lembaga atau yayasan. Iqbal menyebut bahwa masyarakat harus selektif memilih lembaga penyalur kurban, terutama terkait legalitas dan transparansi pengelolaan dana.

Lembaga sosial yang mengelola kurban tidak boleh mengambil keuntungan pribadi. Seluruh dana harus dialokasikan dengan tepat dan dicatat secara administratif sesuai ketentuan hukum organisasi non-profit. Jika lembaga tidak memiliki izin resmi atau tidak transparan, risiko penyelewengan sangat besar.

“Jika kurban disalurkan melalui lembaga yang tidak jelas status hukumnya, bisa berisiko. Selain ibadahnya menjadi tidak tenang, juga berpotensi terjadi penyelewengan yang sulit dipertanggungjawabkan,” paparnya.

Dalam konteks perpajakan, Iqbal juga mengingatkan bahwa donasi kurban yang dilakukan melalui lembaga resmi bisa menjadi komponen pengurangan pajak. Hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak PER-11/PJ/2016. Namun demikian, hal ini hanya berlaku jika seluruh dokumen dan administrasi dilakukan secara tertib.

“Bagi perusahaan atau donatur besar, penting mencatat semua transaksi dan menyimpan bukti serah terima. Ini akan memudahkan dalam pelaporan keuangan dan pelaporan pajak tahunan,” jelas Iqbal.

Seiring era digitalisasi, layanan kurban online semakin populer. Meski menawarkan kemudahan, hal ini juga memunculkan masalah baru dari segi perlindungan konsumen. Banyak masyarakat yang tertipu oleh penyedia jasa kurban online yang tidak bertanggung jawab.

Masyarakat sebagai pekurban memiliki hak untuk mengetahui detail spesifikasi hewan, dokumen kesehatan, lokasi pemotongan, dan mendapatkan bukti dokumentasi penyembelihan. Jika hak ini dilanggar, maka masyarakat bisa mengajukan pengaduan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

“Jika merasa dirugikan, misalnya hewan tidak sesuai spesifikasi, bukti penyembelihan tidak diberikan, atau harga tidak wajar, maka pekurban dapat mengajukan pengaduan,” ujar Iqbal tegas.

Salah satu isu sensitif yang juga kerap muncul adalah penyembelihan yang tidak manusiawi. Meski dalam konteks ibadah, hukum tetap melindungi hak hewan dari perlakuan kejam. Pasal 302 KUHP secara tegas melarang kekerasan terhadap hewan.

Menurut Iqbal, praktik penyembelihan yang sadis, seperti menggunakan alat yang tidak sesuai atau memperpanjang penderitaan hewan, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana.

“Penyembelihan tetap harus memperhatikan kaidah etika. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga moral,” imbuhnya.

Di akhir pernyataannya, Iqbal mengimbau pemerintah daerah untuk aktif melakukan edukasi hukum kepada masyarakat terkait pelaksanaan kurban. Ia juga mendorong agar fasilitas pemotongan hewan yang higienis dapat disediakan lebih luas, terutama di daerah padat penduduk.

Sementara itu, masyarakat juga diharapkan bisa lebih bertanggung jawab dalam menjalankan ibadah kurban. Menurutnya, memahami hukum bukan berarti menakut-nakuti, melainkan agar ibadah lebih sah dan berkah.

“Ibadah yang sah dan berkah itu tidak hanya dari niat baik, tapi juga dari pelaksanaan yang tertib dan bertanggung jawab. Di sinilah pentingnya memahami aspek hukum dari setiap kegiatan keagamaan, termasuk kurban,” tutup Iqbal.

Dengan meningkatnya kesadaran hukum dalam ibadah kurban, diharapkan tidak hanya nilai spiritual yang tercapai, tetapi juga ketertiban sosial dan perlindungan hukum yang semakin kuat di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *