SIDOARJO – Di sebuah rumah sederhana di Desa Tlasih, Kecamatan Tulangan, suara lirih dua perempuan lansia menjadi pengingat keras bahwa pendataan bantuan sosial (bansos) masih jauh dari kata sempurna. Mereka adalah Ibu Roti’a (65) dan Ibu Juwaidah (75), dua janda yang telah lebih dari 10 tahun hidup tanpa pernah tersentuh bantuan pangan maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Hidup dari Belas Kasih Anak
Dengan tubuh renta dan wajah yang mulai keriput, keduanya bercerita bagaimana kehidupan sehari-hari dijalani serba pas-pasan.
“Makan tiap hari ikut anak saya yang masih bujang. Ini barusan saya nempur (beli beras),” kata Bu Juwaidah sembari duduk di kursi kayu yang sudah usang.
Hal serupa diungkapkan Bu Roti’a. Ia menegaskan, selama lebih dari satu dekade, ia tak pernah sekalipun menerima beras bantuan ataupun uang tunai dari pemerintah. “Sudah 10 tahun lebih, dan sudah saya sampaikan ke Pak Lurah niki,” ucapnya sambil menunjuk ke arah Kepala Desa M. Al Irsyad yang menemani.
Kisah mereka bukan sekadar cerita pribadi. Ia mencerminkan bagaimana data yang tidak terbarui dapat membuat masyarakat miskin terabaikan, meski seharusnya mereka termasuk golongan prioritas.
Ketidakadilan dalam Penyaluran
Warga sekitar kerap menyaksikan ironi ini. Beberapa penerima bansos di desa justru dianggap masih mampu, sementara mereka yang benar-benar membutuhkan justru luput dari daftar. Kekhawatiran ini semakin mempertegas adanya masalah ketidakmerataan dalam pendistribusian bantuan sosial.
“Kalau bisa pemerintah desa maupun instansi terkait bisa lebih jeli. Jangan sampai ada yang terlewat, terutama warga yang sudah jompo begini,” kata salah seorang tetangga yang enggan disebutkan namanya.
Kades Merasa Terbebani
Menanggapi hal itu, Kepala Desa Tlasih, M. Al Irsyad, tidak menampik adanya keluhan warganya. Menurutnya, persoalan data yang tidak akurat sering kali membuat dirinya merasa terbebani.
“Saya mohon agar dilakukan sensus ulang oleh Dinas Sosial, kalau bisa maksimal setiap enam bulan sekali. Jangan terlalu cepat-cepat, karena ini menjadi keluhan banyak masyarakat kepada saya,” ujarnya.
Irsyad menambahkan, sebagai kepala desa, dirinya kerap dituding lalai oleh warga yang tak kunjung menerima bantuan. Padahal, database penerima bansos dikelola oleh Dinas Sosial, bukan desa.
“Bilamana ada warga yang tidak layak tetapi masih mendapatkan bantuan, itu sudah terjadi sejak sebelum saya menjabat. Ya mohon dicoret,” pungkasnya.
Dinsos Lempar ke Data Pusat
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Sidoarjo, Drs. Ahmad Misbahul Munir, M.Si, menjelaskan bahwa untuk bantuan pangan (beras), data penerima ditentukan langsung oleh pusat.
“Data dikirimkan oleh Badan Pangan, Bulog yang ditunjuk untuk mendistribusikan. Saya tidak tahu data yang digunakan pusat bersumber dari mana,” kata Misbah.
Ia menilai, seharusnya pengusulan dilakukan melalui basis data kemiskinan daerah, sehingga bisa digunakan untuk berbagai program penanganan kemiskinan. “Dapat diusulkan melalui operator desa masing-masing,” tambahnya.
Menunggu Perubahan Nyata
Kisah Bu Roti’a dan Bu Juwaidah bukan hanya tentang bantuan beras atau uang. Lebih dari itu, ini adalah cerita tentang hak warga negara yang seharusnya dijamin oleh negara. Selama bertahun-tahun mereka hanya bisa berharap, sambil menjalani hidup dengan bergantung pada anak dan tetangga.
Kini bola berada di tangan pemerintah daerah maupun pusat. Perbaikan sistem pendataan dan penyaluran bansos menjadi kunci, agar tidak ada lagi janda lansia atau warga miskin lain yang harus menunggu lebih dari satu dekade untuk mendapatkan haknya.