Sangatta – Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, Simon Salombe, menegaskan pentingnya pemahaman masyarakat terkait prosedur pengadaan lahan dan penyelesaian sengketa pertanahan. Ia menyebut, tugas dinas yang dipimpinnya mencakup tiga bidang utama, mulai dari pengadaan lahan fasilitas umum, penanganan sengketa hingga konflik pertanahan, serta penataan guna lahan di wilayah Kutai Timur.
Dalam penjelasannya pada Selasa (18/11/2015), Simon menuturkan bahwa proses pengadaan lahan selalu dimulai dari kebutuhan yang diajukan oleh organisasi perangkat daerah. Permohonan tersebut kemudian mendapat persetujuan bupati sebelum dilimpahkan kepada Dinas Pertanahan untuk diproses. Prosedur ini, kata Simon, menjadi fondasi agar setiap pembangunan memiliki dasar hukum dan kajian yang lengkap.
“Kita punya tugas dan tanggung jawab tiga bidang, yaitu pengadaan lahan untuk fasilitas umum, penanganan sengketa atau konflik pertanahan, dan penata-gunaan tanah. Jadi permohonan lahan itu harus diajukan dulu oleh OPD yang membutuhkan,” jelasnya.
Ia menambahkan, dinas turut memberi rekomendasi lokasi strategis berdasarkan kajian teknis, terutama untuk fasilitas tertentu seperti sekolah atau TPSD. Proses kemudian berlanjut pada identifikasi lokasi, pembuatan peta bidang oleh BPN atau Kantor Pertanahan, hingga penerbitan KKPR yang memastikan kesesuaian tata ruang.
“Setelah semua lengkap, barulah tim appraisal menentukan nilai tanah. Harga yang keluar dari appraisal itu tidak bisa diintervensi oleh pemerintah maupun pemilik lahan,” urai Simon, menegaskan pentingnya independensi dalam penilaian tanah.
Namun, Simon menyoroti kebiasaan keliru yang masih terjadi di masyarakat, yakni pembangunan lebih dulu dilakukan sebelum lahan dibebaskan. Ia menekankan bahwa praktik semacam ini bertentangan dengan mekanisme resmi pengadaan lahan dan sering menimbulkan tuntutan pembayaran yang tidak dapat dipenuhi pemerintah.
Selain pengadaan lahan, Dinas Pertanahan juga menangani sengketa pertanahan yang berpotensi berkembang menjadi konflik. Dalam banyak kasus, gesekan bermula dari sengketa sederhana yang meningkat ketika melibatkan banyak pihak dan menimbulkan dampak luas.
“Yang bisa kami lakukan dalam penyelesaian sengketa itu hanya mediasi,” katanya.
Simon menjelaskan bahwa setiap pengaduan diregistrasi, dipelajari, dan ditindaklanjuti dengan pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa. Setelah dokumen diverifikasi dan lokasi dicek, barulah mediasi dilakukan. Harapannya, para pihak dapat mencapai kesepakatan tanpa harus melangkah ke ranah hukum.
“Kami tidak memutuskan siapa yang benar atau salah. Kami hanya mencari win-win solution yang bisa diterima kedua pihak. Kalau tidak tercapai, silakan lanjut melalui jalur pengadilan,” tuturnya.
Ia mengakui, sebagian masyarakat masih menganggap pemerintah seolah memihak perusahaan ketika sengketa melibatkan korporasi. Namun Simon menegaskan bahwa Dinas Pertanahan tetap bersikap netral dan bekerja sesuai mekanisme.
Dengan pemahaman yang lebih luas mengenai proses pertanahan, Simon berharap masyarakat dapat mengikuti prosedur resmi agar setiap persoalan dapat diselesaikan dengan adil dan sesuai aturan. (ADV).


