Samarinda – Nama Kalimantan Timur (Kaltim) pernah bersinar terang di arena Pekan Olahraga Nasional (PON). Sejak aktif mengikuti PON pada era 1950-an, Kaltim perlahan tumbuh menjadi kekuatan olahraga nasional, terutama pada dekade 1980-an dan 1990-an. Puncak kejayaan tercapai saat menjadi tuan rumah PON 2008 dengan menembus peringkat tiga besar nasional, sebuah capaian yang mampu dipertahankan hingga PON 2016. Namun, dalam dua edisi terakhir, performa tersebut mengalami penurunan signifikan.
Pada PON 2021, Kaltim mulai kehilangan pijakan akibat persiapan yang dinilai kurang matang di tengah situasi pandemi. Tren penurunan itu berlanjut pada PON Aceh–Sumatra Utara, di mana Kaltim harus terpental jauh dari target lima besar nasional. Kondisi ini memicu keprihatinan Forum Atlet dan Pelatih Olahraga Kalimantan Timur, yang menilai perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola olahraga prestasi di daerah.
Ketua Forum Atlet dan Pelatih Olahraga Kaltim, Romiansyah, menegaskan bahwa perubahan zaman menuntut cara kerja yang lebih efisien dan terukur. Menurutnya, olahraga prestasi tidak bisa lagi dikelola dengan pendekatan konvensional.
“Sekarang ini, untuk bisa bersaing di level nasional, harus efisien dan efektif. Olahraga bukan dunia politik, tapi dunia kerja yang berbasis hasil,” ujar Romiansyah.
Ia menyoroti peran Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) daerah sebagai aktor kunci dalam membangun ekosistem prestasi. Romiansyah menilai, pimpinan KONI seharusnya mampu membangun komunikasi strategis dengan pemerintah daerah, khususnya Gubernur dan jajaran, agar berbagai persoalan non-teknis tidak terus membebani atlet dan pelatih.
“Amanat undang-undang sudah jelas, tapi harus ada kedekatan dan komunikasi dengan pemimpin daerah. Sampai sekarang, kami belum melihat audiensi khusus untuk membahas arah besar olahraga prestasi Kaltim,” katanya.
Akibat minimnya komunikasi tersebut, atlet dan pelatih di lapangan masih kerap dihadapkan pada persoalan klasik, seperti keterbatasan anggaran, fasilitas, dan kepastian program. Padahal, menurut Romiansyah, ranah tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab KONI bersama pemerintah daerah.
Forum Atlet dan Pelatih Kaltim kini mengarahkan fokus pada persiapan Babak Kualifikasi (BK) PON 2027. Tahapan ini dianggap krusial karena menjadi fondasi pembinaan menuju PON berikutnya, yang diawali dari BK Porprov hingga Pekan Olahraga Provinsi (Porprov).
Dalam konteks tersebut, Romiansyah menilai Musyawarah Provinsi (Musprov) KONI Kaltim seharusnya segera digelar sesuai masa jabatan. Ia menolak wacana perpanjangan kepengurusan hingga Porprov dengan alasan efisiensi dan relevansi.
“Kepengurusan habis Februari 2026. Kalau kendalanya Ramadan, bisa digeser ke Maret atau April. Tidak perlu diperpanjang sampai Porprov karena relevansinya tidak ada,” tegasnya.
Forum Atlet dan Pelatih juga menekankan pentingnya figur pemimpin KONI ke depan yang memiliki metode kerja modern, mampu melakukan pembenahan internal, serta menetapkan skala prioritas berdasarkan analisis olahraga yang tepat. Tantangan ke depan dinilai semakin kompleks dengan adanya wacana pemisahan PON berdasarkan kategori cabang olahraga.
Selain persoalan struktural, forum turut menyinggung praktik kehadiran KONI dalam kegiatan pemberian tali asih atlet pada ajang SEA Games di Bangkok. Menurut Romiansyah, pendekatan tersebut belum mencerminkan prinsip efisiensi anggaran di tengah tuntutan penghematan nasional.
“SEA Games itu kewenangan KOI. Kalau memang bentuk perhatian pemerintah, idealnya pimpinan daerah yang hadir. Efisiensi harus dijalankan dengan logika olahraga, bukan sekadar simbol,” ujarnya.
Di akhir pernyataan, Forum Atlet dan Pelatih Kaltim berharap KONI Pusat tidak memberikan perpanjangan kepengurusan tanpa komunikasi dengan pimpinan daerah. Mereka menegaskan, sinergi total antara KONI dan pemerintah menjadi kunci agar atlet dan pelatih dapat kembali fokus berlatih, sekaligus membuka jalan bagi kebangkitan prestasi olahraga Kalimantan Timur di tingkat nasional.



