Sangatta – Pemahaman lama bahwa Islam masuk terlambat ke wilayah Kutai kini direvisi melalui forum ilmiah yang digelar oleh Bidang Kebudayaan Disdikbud Kutim. Kepala Bidang Kebudayaan, Padliyansyah, menyampaikan bahwa proses tersebut justru menunjukkan konektivitas perdagangan dan politik yang kuat saat masa itu.
Menurut Padliyansyah, proses penyebaran Islam melalui jalur niaga — melibatkan pedagang Bugis, Jawa, dan Banjar — terbukti menjadi salah satu mekanisme utama masuknya Islam ke sepanjang pesisir dan sungai di wilayah Kutai. Dalam konteks ini, posisi Kutai yang berada di antara kekuatan dagang wilayah utara (Bulungan dan Tidung) serta selatan (Paser dan Banjar) menjadikannya simpul penting dalam pertukaran budaya dan dakwah Islam.
“Islam memang masuk ke Kutai relatif belakangan dibanding wilayah Nusantara lain. Tapi jangan dilihat sebagai keterlambatan, justru itu menunjukkan kuatnya jejaring perdagangan dan politik waktu itu,” ujarnya di hadapan para akademisi, tokoh ormas Islam, dan peneliti sejarah lokal.
Padliyansyah menyoroti kisah kedatangan ulama besar dari Tanete, Sulawesi Selatan, yang singgah di Gresik kemudian ke Kutai dalam misi dakwah — salah satu tokoh penting yang disebut adalah Datuk Tunggang Parangan. Melalui jalur µayah Sungai Mahakam, «dar‑alur dakwah» ini memungkinkan Islam meluas hingga kampung‑kampung pedalaman Kutai.
Lebih lanjut, ia mengungkap bahwa dalam struktur pemerintahan Kesultanan Kutai sebelumnya, setiap kampung dipimpin oleh petinggi yang juga memiliki tugas sebagai penyambung misi dakwah Islam. Peran ganda — administratif sekaligus religius — menegaskan bahwa Islam bukan hanya agama pribadi, namun bagian dari fondasi sosial budaya masyarakat Kutai.
Sebagai contoh konkret, kawasan Sangkulirang menjadi sorotan lewat kisah Kampung Godang yang berpindah ke Banua Baru pasca tsunami 1921 — peristiwa yang memperlihatkan bagaimana dinamika bencana, keputusan politik, dan penguatan komunitas Muslim saling berkaitan dalam pembentukan kampung‑kampung di Kutim. Padliyansyah turut memetakan sejumlah situs penting jejak peradaban Islam seperti Makam Habib Senumpak di Sangkulirang, makam para habib di Sekrat dan Kajang, serta Masjid Raya Sangkulirang dan At‑Taubah Sangatta Selatan.
“Mahakam bukan cuma aliran sungai, tapi juga jalur dakwah. Dari sinilah Islam menyebar ke kampung‑kampung,” tegas Padliyansyah, Senin (17/11/2025).
Pada bagian akhir seminar, Padliyansyah menekankan bahwa pembacaan ulang sejarah lokal ini bukan hanya milik kalangan akademisi, melainkan seluruh warga Kutai Timur. Ia berharap agar narasi Islam lokal Kutai dapat masuk ke kurikulum sekolah dan menjadi bagian dari identitas generasi muda.
“Sejarah Islam Kutai bukan milik akademisi saja, tapi milik semua warga. Tugas kami adalah menjembatani, agar narasi ini bisa kembali hidup di ruang‑ruang kelas dan budaya,” pungkasnya.
Seminar ini menjadi langkah signifikan dalam memperkuat pemahaman sejarah Islam di Kutai Timur serta memperkaya sumber pembelajaran kebudayaan lokal. Dengan mengaitkan kesadaran sejarah dan kebijakan pendidikan, diharapkan generasi mendatang mampu menghargai akar sejarah mereka sekaligus membangun identitas yang lebih kuat. (ADV).


