Dengan tajam, penjemputan paksa ini membuka wajah kelam tata kelola tambang. Kasus dugaan suap dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur kembali mencoreng wajah penegakan hukum nasional. Rudy Ong Chandra (ROC), pengusaha tambang, dijemput paksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 21 Agustus 2025 setelah mangkir dari panggilan pemeriksaan lebih dari dua kali. Adegan ROC tiba di Gedung Merah Putih KPK dengan merangkak dan menutup wajah dari sorotan kamera sontak viral dan memicu beragam reaksi publik.
Aksi tersebut menjadi simbol ketakutan sekaligus ironi atas penegakan hukum di Indonesia. Sebagian publik mengecam, sebagian lainnya menertawakan, tetapi di balik viralitas itu, terselip pertanyaan penting: sejauh mana negara mampu menegakkan keadilan dalam kasus korupsi tambang yang kerap melibatkan elite ekonomi dan politik?
KPK memiliki dasar hukum yang kuat untuk melakukan penjemputan paksa. Hal ini merujuk pada Pasal 46 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah diperbarui dengan UU No. 19 Tahun 2019. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa KPK berwenang melakukan tindakan paksa, termasuk penjemputan paksa, terhadap pihak yang dipanggil secara sah namun tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.
Penjemputan ROC menjadi penegasan bahwa hukum berlaku bagi semua, tanpa pandang status sosial maupun kekuatan ekonomi. Ketika seorang pengusaha yang memiliki pengaruh luas bisa dijemput paksa karena tidak kooperatif, itu menjadi pesan bahwa upaya memperkuat supremasi hukum masih berjalan, meski tidak selalu mulus.
Namun demikian, penting pula untuk menegaskan kembali asas praduga tak bersalah yang menjadi prinsip dasar dalam hukum pidana Indonesia. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, atau dituntut tetap harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Sayangnya, peristiwa penjemputan ROC dibalut oleh nuansa penghakiman publik. Media sosial dipenuhi ejekan dan narasi yang seolah telah memvonis bersalah sebelum pengadilan menyatakan demikian. Padahal, sebagai negara hukum, kita wajib mengedepankan proses hukum yang adil, bukan sekadar balas dendam sosial terhadap tersangka korupsi.
Selain aspek prosedural, substansi kasus ini lebih penting untuk dikritisi. ROC diduga memberikan suap sebesar Rp3,5 miliar dalam pecahan dolar Singapura kepada Ketua KADIN Kaltim, Dayang Donna Walfiaries Tania (DDWT), yang juga merupakan anak dari almarhum mantan Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak. Suap tersebut diduga berkaitan dengan perpanjangan enam IUP milik ROC.
Keterlibatan figur publik dan pejabat daerah dalam kasus ini mencerminkan pola lama korupsi sektor tambang di Indonesia: hubungan transaksional antara pengusaha dan pejabat. Sektor pertambangan memang menjadi ladang empuk praktik korupsi karena tingginya nilai ekonomi dan minimnya transparansi dalam proses perizinan.
Kalimantan Timur sebagai salah satu penghasil batubara terbesar menyumbang PDB nasional yang signifikan. Namun, di balik kontribusinya, sektor ini menyimpan borok panjang: tumpang tindih lahan, ketimpangan kepemilikan izin, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah dan pusat.
ROC bukan satu-satunya aktor. Fakta bahwa ada lebih dari satu tersangka menunjukkan kemungkinan delik penyertaan atau “deelneming” dalam KUHP, sebagaimana tertuang dalam Pasal 55 dan 56. Ini berarti tindak pidana tersebut dilakukan secara bersama-sama atau ada pihak yang membantu kejahatan.
Jika terbukti pejabat publik turut terlibat dan menyalahgunakan kewenangannya, maka kasus ini dapat masuk ke dalam Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur tentang penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara. Hal ini penting dicermati, karena semakin banyak pejabat daerah yang terlibat, maka reformasi sistemik menjadi keniscayaan, bukan sekadar penindakan individu.
KPK dalam kasus ini tidak hanya bertugas sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pengungkap kelemahan tata kelola negara. Penindakan seperti ini harus disertai dengan dorongan pada pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan tambang.
Pertama, perlu diterapkan sistem digitalisasi IUP yang terintegrasi nasional agar pengawasan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat, tapi juga bisa dikontrol oleh publik. Kedua, wajib dilakukan audit menyeluruh terhadap IUP yang diterbitkan dalam 10 tahun terakhir, terutama di daerah kaya tambang seperti Kaltim dan Kalsel.
Ketiga, sanksi administratif juga harus ditegakkan bersamaan dengan sanksi pidana. Izin-izin yang terbukti diterbitkan lewat suap harus dicabut. Perusahaan yang terlibat dalam praktik korupsi perlu dikenai blacklist untuk mengikuti proses tender dan perizinan selama jangka waktu tertentu.
Penegakan hukum yang tegas hanya akan efektif jika diiringi dengan reformasi regulasi dan penguatan institusi lokal. Pemerintah daerah harus diberi penguatan dalam hal pengawasan dan transparansi, namun di saat bersamaan, pengawasan vertikal oleh kementerian teknis dan lembaga antikorupsi harus diperkuat.
Penjemputan paksa ini juga menyiratkan satu pelajaran penting lain: pentingnya keberanian politik dalam menghadapi mafia tambang. Tidak semua kasus bisa diselesaikan secara hukum tanpa adanya dukungan politik. Oleh karena itu, presiden terpilih dan DPR mendatang wajib mendorong revisi menyeluruh terhadap sistem pertambangan nasional, termasuk membuka data kepemilikan tambang dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan dan izin tambang.
Di tengah situasi ini, peran publik menjadi sangat krusial. Masyarakat sipil, media, LSM, dan akademisi perlu mendorong terus proses hukum agar berjalan terbuka, adil, dan tanpa intervensi. Kontrol sosial yang kuat akan memberikan energi positif bagi KPK dan lembaga penegak hukum lain untuk tetap konsisten menjalankan tugasnya.
Penjemputan paksa ROC oleh KPK bukan sekadar tontonan viral yang menyingkap rasa malu seorang tersangka korupsi, tapi momentum penting untuk mendorong reformasi tata kelola tambang di Indonesia. Korupsi di sektor ini tidak bisa lagi dipandang sebagai praktik biasa. Ia merampas hak publik, menghancurkan lingkungan, dan mempermalukan bangsa.
Jika proses hukum ini tuntas dan transparan, maka pesan yang sampai ke publik jauh lebih kuat: bahwa negara tidak lagi mentolerir korupsi tambang, siapa pun pelakunya.
Oleh: Muhammad Rizal, SH., – Praktisi & Peneliti Hukum Nusantara Law Intitute