Ads

Simon Salombe Luruskan Isu Tanah Negara Bebas di Kutim

Sangatta – Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten Kutai Timur, Simon Salombe, kembali meluruskan pemahaman publik terkait istilah “tanah negara bebas” yang kerap disalahartikan masyarakat sebagai lahan yang bisa dimanfaatkan sesuka hati. Ia menegaskan bahwa ketersediaan tanah negara bebas di Kutai Timur kini sangat terbatas, baik dari sisi luasan maupun kelayakan untuk kegiatan produktif.

Saat diwawancarai di Ruang Kerjanya, Selasa (18/11/2025), Simon menguraikan bahwa tanah negara sebenarnya terbagi dalam dua kategori utama: kawasan dan nonkawasan. Tanah nonkawasan inilah yang menjadi bagian Areal Penggunaan Lain (APL), yang dapat dimanfaatkan masyarakat maupun badan hukum sesuai ketentuan. Ia menekankan bahwa persepsi “tanah kosong milik negara” sering kali tidak sesuai kenyataan.

“Tanah negara itu, itu kawasan yang masih dimiliki oleh negara. Yang nonkawasan, itulah yang bisa dikuasai oleh masyarakat atau investor, itu namanya APL atau nonkawasan,” jelas Simon.

Ia menambahkan, tanah negara bebas adalah lahan yang tidak berada dalam kawasan hutan dan belum memiliki hak atas tanah. Jenis tanah ini secara hukum dapat diajukan penguasaannya oleh masyarakat perorangan maupun badan hukum bila memenuhi syarat yang berlaku.
“Sehingga, boleh dimanfaatkan oleh, entah itu perorangan, dalam hal ini masyarakat, ataupun badan hukum, perusahaan, koperasi,” tegasnya.

Namun realitas di lapangan, kata Simon, tidak lagi sama seperti beberapa tahun lalu. Lahan bebas yang benar-benar kosong dan layak ditanami kini semakin menipis.
“Kalau dibilang ada, masih ada, cuma tidak terlalu luas, tapi tidak layak lagi untuk kebun,” ujarnya. Banyak lahan yang masih tersisa justru tidak memenuhi standar kesesuaian lahan, berbeda dengan area produktif yang telah lebih dulu dimanfaatkan investor.

Dalam hal penguasaan tanah, Simon menjelaskan bahwa masyarakat dapat memulai proses kepemilikan dari bukti penggarapan. Bukti tersebut menjadi dasar penguasaan fisik sebelum berlanjut pada tahapan administrasi.
“Dari bukti penggarapan itu, maka sudah bisa dianggap itu dia menguasai. Maka, dia dapat menindaklanjuti dengan hak surat. Pertama adalah SKPT itu tadi, sesuai Perbup,” paparnya.

Untuk perusahaan, mekanismenya berbeda karena harus dimulai dari izin lokasi sebelum melakukan penggarapan.
“Perusahaan itu, kan, mendapat izin lokasi dulu. Setelah itu, dia melakukan penggarapan. Setelah dia menggarap, maka baru diusulkan menjadi HGU, hak guna usaha,” tambahnya.

Simon juga memaparkan bahwa Dinas Pertanahan Kutim membagi penanganan pertanahan ke dalam tiga bidang strategis: Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Penatagunaan Tanah, serta Pengadaan Tanah, Ganti Rugi, dan Redistribusi. Pembagian ini menjadi fondasi agar seluruh proses pertanahan berjalan transparan, terukur, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat maupun dunia usaha.

Dengan penataan sistematis tersebut, Pemkab Kutai Timur berharap tata kelola lahan ke depan dapat mendukung pembangunan daerah tanpa mengabaikan hak masyarakat serta tetap menjaga prinsip keadilan dalam pengelolaan sumber daya tanah. (ADV).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *